Memahami Huruf Siswa Sd Mi Dalam Agenda Bk


Memahami Karakter Siswa SD MI Dalam Program BK - Peserta didik yaitu subyek utama layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Guru bimbingan dan konseling atau konselor perlu memahami karakteristik akseptor didik sebagai dasar pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Oleh lantaran itu, pemahaman guru bimbingan dan konseling atau konselor, guru kelas dan guru mata pelajaran secara mendalam terhadap karakteristik akseptor didik ialah prasyarat yang harus dipenuhi guru bimbingan dan konseling atau konselor.

Karakteristik Peserta Didik di Sekolah Dasar


Karakteristik akseptor didik SD (SD) diartikan sebagai ciri-ciri yang menempel pada akseptor didik di sekolah dasar yang bersifat khas dan membedakannya dengan akseptor didik pada satuan pendidikan lainnya. Karakteristik akseptor didik Sekolah Dasar yang perlu dipahami mencakup aspek-aspek diberikut:

1. Aspek Fisik-Motorik

Perkembangan fisik akseptor didik usia SD dicirikan dengan bermacam-macam variasi dalam rujukan pertumbuhannya. Keberagaman ini disebabkan lantaran beberapa hal ibarat kecukupan gizi, kondisi lingkungan, genetika, hormon, jenis kelabuin, asal etnis, serta adanya penyakit yang diderita. Pada fase ini pertumbuhan fisik tetap berlangsung sehingga akseptor didik menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat.

Seiring dengan pertumbuhan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik akseptor didik sudah sanggup terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya, sanggup menggerakan anggota badannya dengan tujuan yang jelas, ibarat (1) menggerakan tangan untuk menulis, menggambar, mengambil makanan, serta melempar bola; dan (2) menggerakan kaki untuk menendang bola dan lari mengejar mitra pada dikala main kucing-kucingan.

Fase atau usia sekolah dasar (7 – 12 tahun) ditandai dengan gerak atau kegiatan motorik yang lincah. Oleh lantaran itu, usia ini ialah masa yang ideal untuk berguru keterampilan yang berkaitan dengan motorik, baik motorik halus maupun motorik kasar.

2. Aspek Kognitif

Pada usia sekolah dasar, akseptor didik sudah sanggup mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas berguru yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif seperti: membaca, menulis, dan menghitung (CALISTUNG). Sebelum masa ini, yaitu masa prasekolah (usia Taman Kanak-kanak), daya pikir anak masih bersifat imajinatif, berangan-angan atau berkhayal, sedangkan pada usia sekolah dasar daya pikirnya sudah berkembang ke arah berpikir kongkrit dan rasional.

Dilihat dari aspek perkembangan kognitif, berdasarkan Piaget masa ini berada pada tahap operasi kongkrit, yang ditandai dengan kemampuan (1) mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan ciri yang sama, (2) menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan, dan (3) memecahkan dilema (problem solving ) yang sederhana.

Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar didiberikannya banyak sekali kecakapan yang sanggup membuatkan rujukan pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah sanggup didiberikan dasar-dasar keilmuan, ibarat membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG). Pada usia 11 tahun tahapan perkembangan kognitif memasuki tahap operasional formal ditandai dengan bisa berpikir abstrak, menalar secara logis dan menarikdanunik kesimpulan dari isu yang tersedia.

Di samping itu, kepada anak juga sudah sanggup didiberikan dasar-dasar pengetahuan yang terkait dengan kehidupan manusia, hewan, lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, dan agama. Untuk membuatkan daya nalarnya, daya cipta, atau kreativitas anak, maka kepada anak perlu didiberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat, atau menilai (mempersembahkan Koreksi) ihwal banyak sekali hal yang terkait dengan pelajaran, atau insiden yang terjadi di lingkungannya.

3. Aspek Sosial

Perkembangan sosial akseptor didik usia SD ditandai dengan adanya ekspansi hubungan, di samping dengan para anggota keluarga, juga dengan mitra sebaya ( peer group), sehingga ruang gerak korelasi sosialnya sudah bertambah luas. Pada usia SD, anak mulai mempunyai kesanggupan beradaptasi dari sikap berpusat kepada diri sendiri ( egosentris) kepada sikap bekerjasama ( kooperatif) atau mau memperhatikan kepentingan orang lain (sosiosentris ).

Anak mulai berminat terhadap kegiatan bersama mitra sebaya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok ( gang), merasa tidak senang apabila ditolak oleh kelompoknya dan sanggup menyesuaikan dirinya dengan kelompok mitra sebaya maupun lingkungan masyarakat sekitarnya.

Dalam proses berguru di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini sanggup dimanfaatkan atau dimaknai dengan mempersembahkan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti memmembersihkankan kelas dan halaman sekolah), maupun kiprah yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan berkemah dan membuat laporan study tour ).

Tugas-tugas kelompok ini harus mempersembahkan peluang kepada setiap akseptor didik untuk menampilkan prestasinya, dan juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. melaluiataubersamaini melaksanakan kiprah kelompok, akseptor didik sanggup berguru ihwal sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawaban.

4. Aspek Emosi

Pada usia SD (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, dan 6), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Anak SD berguru untuk mengendalikan dan mengontrol verbal emosinya melalui peniruan dan tes (pembiasaan).

Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Sebaliknya apabila kebiasaan orangtua atau guru dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah, mengeluh), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.

Emosi ialah faktor secara umum dikuasai yang menghipnotis tingkah laris individu, dalam hal ini termasuk pula sikap belajar. Emosi kasatmata seperti: perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi akan menghipnotis individu untuk mengseriuskan dirinya terhadap kegiatan belajar, ibarat memperhatikan klarifikasi guru, membaca buku, aktif berdiskusi, mengerjakan kiprah atau pekerjaan rumah, dan disiplin dalam belajar.

Sebaliknya, apabila emosi yang menyertai proses berguru itu emosi negatif, ibarat perasaan tidak senang, kecewa, maka proses berguru tersebut akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak sanggup memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar ia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru SD seyogianya mempunyai kepedulian untuk membuat suasana proses belajar-mengajar yang sangat senang atau kondusif.

5. Aspek Moral

Penalaran moral, yang ialah dasar dari sikap etis. Peranan lingkungan terutama lingkungan keluarga sangat secara umum dikuasai dalam perkembangan aspek moral. Pada mulanya anak melaksanakan perbuatan bermoral dari menggandakan (mengamati) kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri lantaran adanya kontrol atau pengawasan dari luar, namun kemudian berkembang lantaran kontrol dari dalam dirinya.

Sampai usia 7 tahun, anak mulai memasukkan nilai-nilai keluarga ke dalam dirinya. Apa yang penting bagi orang bau tanah juga akan menjadi penting baginya. Di sinilah orang bau tanah sanggup mengarahkan perilakunya, sehingga sesuai dengan hukum dalam keluarga. Dalam tahap inilah seorang anak mulai memahami bahwa apa yang mereka lakukan akan menghipnotis orang lain.

Pada usia 7-10 tahun, campur tangan orang remaja (orangtua, guru, dan sebagainya) tidak lagi terlalu ‘menakutkan’ buat anak. Anak mengetahui bahwa orang bau tanah yaitu sosok yang harus ditaati, tetapi anak juga tahu bahwa jikalau melanggar hukum harus memperbaikinya. Perasaan bahwa ‘ini benar’ dan ‘itu salah’ sudah mulai tertanam kuat dalam diri anak. Anak usia ini juga mulai memilah mana saja sikap yang akan menhadirkan ‘keuntungan’ buat mereka.

6. Aspek Religius

Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi ialah sikap emosi yang bekerjasama dekat dengan kebutuhan jiwa akan kasih akung dan perlindungan. Oleh lantaran itu dalam mengenalkan Tuhan kepada anak, sebaiknya ditonjolkan sifat-sifat pengasih dan penyayang. Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga kesadaran beragamanya spesialuntuk ialah hasil sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungannya.

Oleh lantaran itu pengamalan ibadahnya masih bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya. Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai sanggup mendapatkan bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat.

Periode usia SD ialah masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya. Kualitas keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya.

Oleh lantaran itu, pendidikan agama di SD harus menjadi perhatian tiruana pihak yang terkait, bukan spesialuntuk guru agama tetapi juga kepala sekolah dan guru-guru lainnya. Apabila pendidik sudah mempersembahkan suri tauladan kepada anak dalam mengamalkan agama maka pada diri anak akan berkembang sikap yang kasatmata terhadap terhadap agama, dan pada gilirannya akan berkembang pula kesadaran beragamanya.

Post a Comment for "Memahami Huruf Siswa Sd Mi Dalam Agenda Bk"